Rabu, 18 November 2009

Masih Jaman, Pakai Bensin?
Teman saya bercerita, “Saya pernah lihat nu rada nyeri hate euy! Ada stiker di motor tulisannya,’hari gini masih pake kopling?’ Teu baleg.” Tentu tulisan itu adanya di motor matic. Dan kalau saya mau jahil juga, bisa saja buat stiker bertuliskan “hari gini masih pake bensin?” hehehe.
Kenapa saya bisa saja buat tulisan seperti itu? Karena saya adalah pengguna kendaraan bertenaga listrik. Memang belum begitu populer di Indonesia, tapi itulah saya. Buat apa ngikutin tren? Kita yang mestinya ciptakan tren!
Polusi di negeri ini sudah parah. Saat masyarakat dunia sedang mendengungkan isu global warming alias pemanasan global, negeri kita masih asyik dengan impor kendaraan bermotor, yang tak lain merupakan salah satu penyumbang polusi yang berdampak pula pada pemanasan global.
Sekitar 80% pencemaran udara di Bandung memang berasal dari sektor transportasi, yakni kendaraan bermotor. Parahnya, setiap tahunnya terjadi kenaikan sebanyak 12% jumlah kendaraan bermotor, dengan hanya 0,6% penambahan ruas jalan per tahun (Pikiran Rakyat, 11/12/08). Makin padat saja tampaknya kotaku ini! Apalagi sekarang kemacetan Bandung sudah tidak mengenal jam kerja. Biasanya pagi, siang, dan sore, saat orang pergi sekolah, berangkat kantor, istirahat makan siang, pulang sekolah, dan pulang kantor, kendaraan akan semakin memenuhi ruas jalan. Sekarang, nampak kurang berlaku lagi hal seperti itu. Mungkin sudah banyak businessman di kota ini, jadi aktivitas di jalan semakin padat.
Kendaraan bermotor makin banyak, polusi pun bertambah. Di negara tetangga, Singapura, pajak kendaraan bermotor dan biaya parkir dipatok harga tinggi, sehingga akibatnya membuat pemilik kendaraan malas untuk menggunakannya untuk pergi kerja atau sekolah. Mereka lebih memilih menggunakan kendaraan umum yang biayanya terjangkau, lagipula cepat. Kendaraan pribadi digunakan hanya saat liburan. Efektif, menurut saya. Tapi entah apa bisa berlaku untuk negara kita yang masyarakatnya enggan untuk menggunakan angkot, bis kota, karena kurang nyaman, lagipula lambat (karena sering ngetem). Kecuali bis yang jarang ngetem karena sudah dipatok waktu berangkat dan tiba.
Kembali ke soal polusi, apa langkah untuk menguranginya? Kendaraan listrik, adalah salah satu upayanya. Selama ini yang sudah pernah saya lihat keberadaannya, adalah Betrix, Treko, dan Eterna, sebagai kendaraan dengan listrik sebagai sumber dayanya. Ketiganya adalah tipe sepeda listrik. Betrix dan Treko sudah menghiasi Bandung (walau belum begitu banyak), sedangkan Eterna saya lihat waktu berada di Pasuruan.
Sepeda listrik ini tidak menimbulkan polusi udara, polusi suara, tidak menggunakan BBM, sehingga irit kantung dan dompet. Menurut saya ini akan menjadi kendaraan masa depan karena di masa yang akan datang BBM akan semakin mahal dan langka keberadaannya. Polusi di masa mendatang juga kemungkinan bertambah. Langkah nyata, ya beralih ke kendaraan listrik! Bahkan mobil listrik isunya akan masuk ke Indonesia tahun 2010, yaitu i-Miev, produksi Jepang.
Saya sudah membuktikan sendiri dengan sepeda listrik, kita tidak keluar banyak uang untuk urusan transportasi. Betrix dalam promosinya mematok Rp 15.000/bulan untuk biaya isi listrik, sedangkan Treko mematok Rp 600 per harinya.
Sebagai pengguna Betrix, saya merasakan sendiri kenikmatannya. Karena ini adalah sepeda, maka tidak ada STNK dan plat nomor. Namun pemakaian helm adalah wajib sebagai perlindungan. Kecepatannya 30-40 km/jam, dengan daya tahan baterai 40-50 km sekali isi. Untuk bersepeda agak berat namun termasuk kategori cukup bila di jalan datar. Tubuhnya mungil sehingga tidak memberatkan saat digunakan bersepeda. Lagipula terdapat mode dua kali dayung listrik hidup. Jadi, bersepeda dengan menggunakan listrik. Mode lainnya adalah menggunakan listrik secara penuh, dengan gas dan cruise control (untuk mempertahankan kecepatan konstan sekian km/jam).
Model sepeda listrik lainnya adalah Treko. Berbeda dengan Betrix, jenis Treko sudah mengadaptasi motor matic sepenuhnya. Dengan dashboard dilengkapi speedometer, sensor jarak, sensor baterai yang mengadaptasi indikator bensin pada motor, dan tubuh lebih besar dari Betrix, Treko sudah bisa dibilang menyerupai motor matic. Bahkan bentuknya sudah seperti motor sungguhan, karena pedal sudah tidak dipasang pada kebanyakan modelnya. Tidak adanya pedal untuk mendayung sepeda, Treko menjamin dengan dibuatnya dua baterai untuk keamanan tenaga. Berbeda dengan Betrix yang masih memasang pedal untuk mendayung sepeda. Jadi kalau baterai habis di tengah jalan, bisa dilakukan tenaga tambahan: tenaga manusia, hihihi. Namun ada pula model Treko yang masih memasang pedal di dua modelnya, kecepatannya sama dengan Betrix, mencapai 35 km/jam. Secara kecepatan, Treko lebih unggul, 40 km/jam. Walau Betrix yang saya pacu kadang sampai juga pada kecepatan 40 km/jam, setelah diukur saat berdampingan dengan motor.
Dengan kecepatan 35 km/jam, tenaga Betrix masih mampu untuk menanjak sampai terminal Dago. Namun untuk berboncengan nampaknya Betrix akan berkata lain,”teu kuat urang!” Untuk jalan datar, Betrix oke untuk berboncengan. Di sela kemacetan Bandung pun oke, karena stirnya mampu berbelok hampir 90 derajat! Sangat ekstrem untuk berbelok. Agak bermasalah kalau ada polisi tidur yang agak tinggi, bagian bawah yang cukup rendah biasanya akan mengenai bagian standar kaki. Untuk kondisi kota, menurut saya sepeda listrik sangat ideal. Berkendara di kota, cukup dengan kecepatan 35-40 km/jam. Sebuah mobil dengan kapasitas 2000cc nampaknya akan percuma untuk berada di Bandung, mau ngebut dimana? Kecuali Pasupati dan By pass nampaknya tidak ada lagi lahan untuk memacu kendaraan. Betrix saya ini belum diuji kalau dibawa ke Cigadung yang cukup menanjak atau Jatinangor yang jaraknya cukup jauh. Namun untuk dibawa ke Jatinangor, saya masih cukup optimis dibanding membawanya ke Cigadung.
Saat turun dari terminal Dago saja, badan Betrix sudah “goyang” alias kurang daya keseimbangannya, mungkin treko akan berkata lain. Hal itu pula mungkin yang menyebabkan kecepatan sepeda listrik “ditahan” sampai 40 km/jam. Karena alasan lainnya, bila sebuah sepeda listrik akan melebihi 40 km/jam, maka fungsinya sudah memasuki kecepatan kendaraan bermotor. Dan nantinya (suatu saat) mungkin akan ada juga SIM untuk sepeda listrik, kalau kendaraan ini sudah menjamur, apalagi kalau kecepatannya bisa mencapai 50 km/jam.
Menggunakan sepeda listrik, satu solusi juga untuk mendukung Bandung Hijau (apalagi warna Betrix saya hijau sehingga saya menyebutnya “Si Bejo” alias Betrix Hejo, haha). Bila hendak berkampanye Bandung Hijau, berjalan kaki, bersepeda, atau bersepeda listrik bisa digunakan sebagai cara alternatif. Bayangkan, masa kampanye Bandung Hijau menggunakan kendaraan bermotor? Kan lucu, sama saja mengotori lingkungan.
Kalau mau merasa jadi artis, menggunakan sepeda listrik juga bisa! Hehehe. Pengalaman saya saat mengendarainya, banyak pasang mata memerhatikan! Ternyata begini rasanya jadi artis! Gak enak! Hehehe. Namun saat diperhatikan orang-orang, saya malah menjadi salah satu duta lingkungan, yaitu dengan mempromosikan sepeda listrik, walau tidak dibayar. Saya promosikan bahwa sepeda listrik tidak mengeluarkan biaya banyak bahkan mengurangi biaya transportasi keseharian kita, kecepatannya cukup untuk di dalam kota, daya tempuhnya memadai, tidak polusi suara dan lingkungan. Itu yang teramat penting. Saya membawa misi lingkungan dengan bersepeda listrik.
Sebagian orang berkata, mencibir, kalau sepeda listrik lambat, buang-buang duit, modelnya kurang bagus, daya tempuh kurang… dan lain-lain. Namun bagi kita yang berorientasi masa depan, tentu omongan mereka hanyalah angin lalu saja. Karena saya sudah membuktikannya sendiri.
Mestinya saya jadi agen marketingnya nih! Hehehe….
^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar